Selasa, 15 April 2008

Go to...Puncak Jaya..!!!


Tebing es setinggi kurang lebih 40 meter membentang dihadapan kami. Belum apa-apa dingin yang dihembuskan angina dari tebing es situ menerpa wajah kami, seperti kalau kita membuka freezer hih... pipi dan hidung ini langsung disergap dingin yang menusuk. Sebagai pemanjat pertama (leader) adalah Giri diamankan oleh seutas tali dibawahnya oleh Une. Semeter demi semeter Giri menambah ketinggian. Kampak esnya terdengar menancap pada es yang keras disusul kemudian tendangan cramoonnya di tebing es untuk memperkokoh posisi berdiri. Akhirnya Giri sampai di sebuah teras yang cukup aman untuk membuat tambat pengaman. Tali pun diulur dan satu demi satu pendaki lainnya memanjat dengan menggunakan jummar, pertama adalah Budi kamerawan untuk bisa mengambil gambar dari atas, disusul kemudian saya, Dina dan terakhir Deni . Dina mencoba memanjat es dengan cara ice climbing seperti Giri diamankan oleh tali. Pemanjat terakhir adalah Deni yang sesampainya di teras kedua dilanjutkan dengan tahapan pemanjatan 20 meter berikutnya.

Setelah sesampainya di hamparan es yang datar, maka tali pun dibentang menghubungkan satu pendaki dengan pendaki lainnya (moving together). Ini merupakan teknik berjalan di padang es yang aman. Karena bisa saja salah satu pendaki terperosok ke jurang es, namun tali akan menahan pendaki tersebut. Selangkah demi selangkah para pendaki menapaki es yang keras dan dingin. Dina berusaha keras untuk tetap melangkah, sesekali talinya menegang ketika harus berhenti menarik nafas dan batuk karena sesak nafas. Kabut dan salju yang turun menambah tebal padang es, sehingga memberatkan langkah kami. Udara dingin menerobos, winbreaker dan sweater yang kami pakai, sarung tangan wol berlapis mitten pun hampir tidak bisa menahan dingin, membuat jemari tangan kebas dan kaku, begitu juga dengan jari kaki. Saya perintahkan teman-teman untuk mempercepat langkah, karena saya khawatir kami akan terserang radang dingin (frostbite) apalagi angin semakin kencang dan hujan salju semakin deras turun.
Langkah kami semakain berat karena salju tebal kami injak. Deni tampak berjalan berhati-hati, dia menusukan kampak esnya ke es, mencari jalan es yang keras, sementara
disisi kami jurang es yang tidak berdasar menganga siap menelan kami bulat-bulat. Detak jantung saya bedertak kencang ketika Dina terjatuh karena gagal melompati parit es yang keras, untuk tali menahan tubuhnya sehingga dia tidak meluncur jatuh ke jurang. Dengan perlahan Dina berusaha bangkit dan kembali berjalan.

Tidak ada komentar: