Sabtu, 17 April 2010

Ince' di Pangkep

Oleh : M. Farid W Makkulau

KALAU anda orang yang sering keluar masuk kampong Bontomangape,
Lempangan, Bulu-bulu, dan Parang-parang maka anda tentunya sudah sering
mendengar panggilan nama seseorang dengan predikat Ince’ atau Unda.
Keempat kampong ini masuk dalam wilayah administratif Kelurahan Tumampua
Kecamatan Pangkajene, Pangkep. Penyebutan Ince atau Unda juga kita
dapat temui pada sebagian kecil Kampung Tekolabbua Kelurahan Tekolabbua.
Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan Ince atau Unda itu ? Bagi
orang yang suka belajar Sejarah Sulawesi Selatan, Sejarah Gowa atau
Sejarah Perang Makassar, mungkin sebutan Ince atau Unda ini akan
mengingatkan kita pada sosok Ince Amin, juru tulis Sultan Hasanuddin,
yang juga penulis “Syair Perang Mengkasar”.

Kata “Ince” sebenarnya merupakan plesetan atau penyesuaian dialek melayu
ke dalam Bahasa Bugis dan Makassar. Aslinya kata ini adalah Enci atau
Entji yang dalam Bahasa Melayu berarti paman. Hal ini agak kontras
dengan pemakaian kata Unda bagi komunitas keturunan melayu yang
menggunakan panggilan “Unda” bagi orang tua, yang menurut dugaan menulis
juga berasal dari bahasa rumpun melayu yang berarti kakak atau
seseorang yang dituakan. Penulis sendiri, karena sejak kecil dibesarkan
di Kampung Lempangan (Kampung ini layak mendapatkan julukan Kampong
Melayu karena boleh dibilang sembilan puluh persen warganya adalah
keturunan melayu) dan ibu sendiri, adalah asli keturunan melayu maka
seringkali penulis ‘kecipratan’ dipanggil “Unda”, walau secara
keturunan---berdasarkan prinsip ambokemmi ma’pabatti---hal itu tentu
menyalahi karena bapak keturunan bangsawan Bugis. Jika merujuk kepada
cerita ini, Ince Amin, tentu saja adalah salah satu contoh keturunan
Melayu yang mendapatkan kedudukan sangat terhormat dalam istana Gowa.

Jika ditilik dari sejarah panjang kedatangan dan keberadaannya di Siang
(Pangkep), sebenarnya tidak layak lagi digolongkan sebagai keturunan
melayu, namun sebagian kecil diantara komunitas ini begitu fanatik
dengan ‘kemelayuannya’. Seringkali kita mendengar dalam pergaulan sehari
– hari, “Ikatte antu tau malajua ….”, yang merupakan kebanggaan
terhadap komunitasnya, begitu pula dengan narasi tutur (oral tradition)
yang berkembang diantara mereka bahwa adalah hal yang pammali atau
larangan memakan balacang (udang kecil) karena udang – udang kecil
itulah yang (katanya) menyelamatkan perahu – perahu mereka, menempelkan
diri secara bergerombol di badan perahu yang bocor.

***

Bangsa asing pertama yang datang / singgah ke Siang (Pangkep) adalah
para pedagang melayu dari sebelah barat kepulauan nusantara. Hal ini
diinformasikan oleh para pelaut Portugis dalam kepentingannya mencari
pulau rempah-rempah (misi ekonomi perdagangan), selain untuk kepentingan
penyebaran Agama Nasrani yang dibawa serta oleh para pendetanya (misi
agama) misionaris. Kedatangan Portugis yang dipimpin Antonio de Payva,
tahun 1544 ke Pelabuhan Suppa dan Siang adalah atas perintah Ruy Vas
Pariera, Panglima Pasukan Portugis di Malaka. Kerajaan Malaka sendiri
jatuh di tangan Portugis pada tahun 1511. (Th. Vanden End, 1996).

Dalam laporan Antonio de Paiva ketika mendarat di Siang pada tahun 1542
(Pelras, 1981 : 166-17), dia menyaksikan komunitas pedagang melayu di
sepanjang pesisir barat Siang, dan bahkan sudah berbaur dengan penduduk
pribumi setempat. Menurut Raja Siang saat menjamu de Paiva, Orang-orang
Melayu di Siang sudah ada sejak 50 tahun lalu. Jadi, sekitar tahun 1490.
Orang-orang Melayu itu terdiri dari orang Johor, Patani dan daerah lain
di Semenanjung Melayu yang cukup memainkan peranan penting dalam
hubungan perdagangan. Kalau ini benar, sudah dapat dipastikan bahwa
Siang sudah lebih dahulu menerima (Agama / Pedagang) Islam dibandingkan
dengan Gowa, meski tidak menjadi agama resmi kerajaan. Salah satu
(mungkin) sebabnya, karena masih kuatnya “kepercayaan lama” dan pengaruh
bissu, sebagai pendeta agama bugis kuna pra-Islam yang juga sebagai
penasehat kerajaan.

Kedatangan orang – orang Melayu di Siang tentunya semakin menguatkan
dugaan bahwa Islam masuk di Siang (Pangkep) melalui pintu perniagaan,
karena orang – orang Melayu itu bukan saja datang untuk kepentingan
berdagang tetapi juga menyebarkan agama Islam. Pada tahun 1490 sudah ada
perkampungan Melayu di Siang, (Mukhlis, tt, A Saransi, 2003 : 88).
Dibelakang hari, ketika Siang ditaklukkan Gowa, Orang-orang Melayu dari
Siang inilah yang banyak membantu pembangunan pelabuhan Somba Opu,
Makassar. Pun, Pada masa pemerintahan Karaeng Tumapakrisika Kallonna
memegang tampuk pemerintahan Gowa, juga memberikan ijin tempat pemukiman
bagi orang-orang Melayu di Kampung Mangallekana.

***
Sampai sekarang, tradisi tutur yang berkembang di Pangkajene menyebutkan
bahwa keturunan orang – orang Melayu yang pernah datang ke Siang itu
menempati Kampung yang namanya Lempangan dan Bontomangape (Jalan
Coppotompong, Kelurahan Tumampua), serta sebagian besar wilayah
Kelurahan Tekolabbua, sampai wilayah pesisir yang jauh, Parang-Parang
dan Pandang Lau. Masyarakatnya akrab dipanggil “Unda” dengan penyebutan
Gelar “Ince” di depan namanya. Misalnya, namanya Ince Unga, maka
dipanggilnya dengan sebutan Unda Unga. Penyebutan “Ince” tersebut
merupakan perubahan pengucapan kata Melayu ke dalam Bahasa Makassar yang
cukup baik dari penduduk lokal, yang berasal dari kata “Entji” atau
“Enci”.

Tempat asal yang dimaksudkan untuk menunjuk “Semenanjung Melayu” adalah
Malaysia sekarang ini. Sampai sekarang sebutan “Enci” itu akrab kita
dengar kalau ke Malaysia. Adaptasi yang baik orang-orang Melayu sehingga
membuat penguasa setempat simpatik dan memberinya tempat permukiman.
Bahkan salah seorang tokoh dari Semenanjung Melayu sempat diangkat
Penguasa Gowa menjadi Raja di Siang, yaitu Ince Wangkang sebagai Raja
Siang IX paska Siang menjadi vasal Gowa, menggantikan Karaeng Kaluarrang
dari Labakkang.

Antara kampung Lempangan dan Paccelang, Kampung Tujua terdapat makam
Raja Siang II Paska Siang menjadi Kerajaan Taklukan Gowa, yang bernama
Johor atau Johoro’ (Mappasoro’). Johor atau Johoro’ ini merupakan
sahabat baik Aru Palakka, yang pernah sama-sama La Tenritata ke Pariaman
(Sumatera Barat) pada Abad XVII. Letaknya makamnya, Di Ponrok, yaitu
ditengah-tengah hamparan persawahan antara Paccelang dan Baru-baru.
Gelar anumertanya Johoro, Karaeng Siang Matinroe ri Ponrok. Sampai
sekarang makamnya masih banyak dikunjungi, baik oleh warga sekitar
maupun pendatang, bukan cuma sekedar ziarah, tapi juga meminta berkah
dalam pekerjaan dan jodoh atau untuk kepentingan lain.

Hingga pertengahan Abad XV, para pedagang melayu Islam bukan saja telah
menyebar hampir ke seluruh kepulauan Indonesia, termasuk wilayah barat
jazirah Sulawesi Selatan, tetapi secara sosial bahkan telah muncul
menjadi agen perubahan sejarah (agent of history change) yang penting.
Meskipun belum sepenuhnya menyebar sampai ke pedalaman, namun
setidaknya mereka telah banyak membangun diaspora - diaspora
perdagangan, terutama di wilayah - wilayah pesisir pantai. Dengan
dukungan kelas saudagar, proses islamisasi berlangsung secara
besar-besaran dan hampir menjadi landskap historis yang dominan di
Indonesia ketika itu.(*) sumber : http://pangkep.ning.com/profiles/blogs/incedi-pangkep